BAHAGIA? DIMANA?

Pertama kali melihat buku ini, dalam jajaran buku panduan wisata di salah satu toko. Caption di bawah judulnya menggelitik: "Kisah Seorang Penggerutu yang Berkeliling Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan".
Saat itu, sangat tertarik. Secara saya ini punya dasar suka halan-halan. Tetapi karena ada BLISS lain yang harus didahulukan, tunda dulu.
Rupanya, saya memang harus percaya bahwa jaringan itu penting dan sesuatu yang memang sudah saatnya, akan berada di tangan kita. Nah, di September ceria 2019, akhirnya saya berkesempatan membaca buku ini. Bukan beli sendiri, tetapi pinjam dari perpustakaan SMKN 3 Batu.
Melalui buku ini, saya jadi punya alternatif alasan kenapa filsuf di masa lalu banyak yang berasal dari Eropa. Berdasar pengamatan Eric Weiner, di Eropa orang banyak menghabiskan waktu di kafe, tanpa rasa bersalah. Jadi, menurutnya, para filsuf itu datang ke kafe untuk nongkrong, dimana mereka bisa membiarkan pikirannya mengembara sehingga lahirlah aliran filsafat baru. He he he. Bisa jadi tidak demikian yang sebenarnya. Tetapi dari buku ini saya tahu Amsterdam begitu permisif dengan urusan bahan adiktif dan prostitusi. Namun di negeri inilah Eric bertemu Bapak Riset Kebahagiaan Ruut Veenhoven yang memberinya akses pada WDH (World Database of Happiness).
Sangat berbeda dengan Swiss yang kita harus sangat menjaga sikap, sehingga berkesan tidak peduli dengan orang lain. Bagi Eric yang orang Amerika, Swiss tentu mendapatkan label membosankan, meskipun menjadi salah satu negara paling bahagia di dunia.
Melengkapi pencariannya, Eric mendatangi Bhutan, dimana kebahagiaan adalah kebijakan. Ia ke Qatar dimana kebahagiaan adalah menang lotre. Ia ke Islandia dimana kebahagiaan adalah kegagalan. Ia juga mengunjungi salah satu negara yang paling tidak bahagia, Moldova, dimana kebahagiaan adalah berada di suatu tempat lain. Ia mengunjungi Thailand yang berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tidak berpikir. Sementara di Britania Raya, ia menemukan bahwa kebahagiaan adalah karya yang sedang berlangsung. Ia juga ke India, dimana kebahagiaan adalah kontradiksi. Kisahnya dalam menjalani ritual di ashram sangat menarik.
Eric menutup bukunya dengan pulang ke Amerika, dimana kebahagiaan adalah rumah. Apakah ia telah menemukan arti sejati kebahagiaan? Sebaiknya temukan sendiri jawabannya dalam buku ini.

Saya jadi melihat diri saya sendiri. Mungkin bukan sekali dua saya merasa menjadi orang paling malang, dengan segala ketidakbahagiaan yang bisa sebuku kalau ditulis. Namun, semoga saya tidak pernah lupa bahwa kebahagiaan itu dibuat, bukan ditunggu. Kita tidak bisa diam mengharapkan lingkungan yang bahagia, sementara kita sendiri belum menjadi orang yang menyebarkan kebahagiaan kepada lingkungan. Kita tidak bisa bahagia, ketika kita belum bisa mengelola hati agar senantiasa ikhlas, jauh dari rasa iri tak bermanfaat, dan lebih sibuk dengan keburukan orang lain, tapi lupa memperbaiki diri.
So, kita tidak bisa mengendalikan perilaku orang lain. Itu hal yang di luar kendali kita. Yang bisa kita kendalikan adalah perilaku kita dan respon kita terhadap perlakuan orang lain. Jadi, mari tengok ke dalam diri. Syukuri hari ini, lakukan yang terbaik.

Posting Komentar

0 Komentar