STATUS OTG BUKAN AKHIR

Berjemur sambil membaca, menangkal virus sambil menangkal mudah lupa (dok pribadi)


Memoar Akhir Juni-akhir Juli 2020

Saat itu, banyak teman menjapri, seiring alpanya saya dari berbagai rapat di tempat kerja.
Well, tadinya memang saya menutup informasi ini, sehubungan dengan keluarga korban yang dikhawatirkan merasa tidak nyaman.
Untuk saat ini sebaiknya saya catat saja di mari.

Rentetan kejadian ini berawal dari keluhan kakak ipar kami (sebut saja Mr X), yang bekerja di Pasuruan, tetapi tiap weekend pulkam.
Keluhannya meliputi badan tidak nyaman, demam, batuk, dan sakit kepala. Di sekitar tanggal belasan Juni, dia mulai mengeluh sesak nafas. Saat itu pasien dalam kondisi down dan takut jika ini gejala Corona. Mr X sudah mulai melakukan pembatasan interaksi. Kamipun membatasi hanya istri, kedua anaknya, dan kami berdua saja yang mengurus beliau. Bukan parno, tetapi mencegah itu tetap lebih baik.
Melalui proses suport yang cukup sulit, akhirnya dia mau kami bawa ke rumah sakit swasta. Dia mendapat penanganan berupa nebul untuk meredakan sesak. Setelah itu pulang lagi untuk observasi berikutnya. Situasi saat itu, Mr X harus membeli selang penghubung alat nebul dengan wajah. Ini standar ya sebagai upaya mencegah penularan penyakit pernafasan apapun.

Dua hari kemudian, sesak tetap melanda. 
Di tanggal 23 Juni pagi, dia kembali ke RS dan disarankan foto torax. Hasil pembacaan oleh petugas lab langsung ditulis sebagai kecenderungan pneumonia atau covid 19. Lemes dia.
Setelah konsul via telepon ke dokter langganan, disarankan untuk ke RS di kota kami yang memang menangani covid.

Jadilah malam itu masuk IGD, rapid reaktif, dan langsung masuk isolasi.
Istrinya, saya, dan salah satu anaknya masih di RS hingga hampir jam 11 malam untuk mengurus berbagai keperluan pasien. Setelah itu kami pulang. Saya langsung ke rumah, ganti baju, dan tidur. Demikian juga dengan si anak. Tetapi kakak saya, mungkin sedang galau, tiba di rumah masuk kamar mandi untuk mandi dan mencuci baju hingga jam 1 dini hari. 

Dua hari kemudian, kakak saya Mss X mulai drop. Suhu badannya mencapai 38,5C. Di kulitnya muncul ruam-ruam, mirip ketika terserang gabak atau DB. Sakit kepala dan perasaan seolah kepala dihantam benda keras, terus meluncur dari mulutnya. Saya mengantarnya ke RS, langsung dites darah sekaligus rapid. Hasilnya reaktif. Pihak RS berkoordinasi dengan RS tempat Mr X dirawat dan pihak DinKes. Hasilnya, Kakak saya boleh isolasi mandiri di rumah. 

Hari berikutnya, petugas puskesmas datang untuk rapid Mss X, saya, suami saya, dan kedua anak Mss X (sebut saja A dan B). Hasilnya semua non reaktif, kecuali Kakak saya. Keputusan tetap, Kakak saya isolasi mandiri di rumah. 
Saat itu, tidak ada informasi detil yang disebut dengan isolasi mandiri. Secara teknis, A dan B tetap tinggal satu atap, meski beda lantai. A memasak, jatah ibunya ditaruh di piring, dikirim ke lantai dua saat tiba waktu makan. Ketika selesai, dibawa turun lagi untuk dicuci. Hampir setiap hari ada sesi saya harus ke lantai dua ketika Mss X ingin curhat dan berkeluh kesah. Tentu dengan kami masing-masing pakai masker dan jaga jarak. 

Awal Juli, rombongan petugas datang dengan APD lengkap untuk melakukan SWAB. Hasil tracing membuat kami bertujuh belas (5 rumah) harus menjalani pengambilan sampel. 
Satu minggu kemudian, hasilnya keluar walau tidak lengkap. Mss X positif, berikut si A dan satu bayi yang tinggal berjarak 2 rumah. Mss X dan A dibawa ke shelter. Tersisa si B yang tidak berani sendirian di rumah dan hasil swabnya belum keluar. Ibu saya mengalah tidur menemani si B.

Beberapa hari kemudian, hasil tes si B keluar, positif. Jadilah ia juga dibawa ke shelter. Kami yang lain diSWAB ulang. Kali ini yang positif bertambah, kakak si bayi. 

Dari segala proses tersebut, praktis sejak awal Juli, selama 3 minggu kami menjalani isolasi terbatas 5 rumah, dimana jalan masuk kampung ditutup. Akses masuk dibuka hanya untuk petugas kesehatan dan orang-orang yang berkepentingan.

Bagaimana rasanya menjalani isolasi?
Bagi saya pribadi, yang bekerja dan beraktifitas di luar rumah, banyak hal menjadi terhambat dikerjakan. Memang, saya masih bisa bekerja online untuk mengajar, mengikuti rapat, atau beberapa pekerjaan lain. Tetapi tetap ada pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan secara online. Saat saya kembali, numpuk gaess. 
Sepanjang menjalani isolasi, kami semua tidak bisa bekerja normal (padahal banyak yang pekerja harian), tidak bisa keluar rumah, dan banyak pula yang tidak punya akses dengan keuangan online. 

Syukurlah, banyak tetangga dan teman yang bersimpati serta membantu. Hampir setiap hari, ada saja yang mengirim makanan jadi, telur, bahan makanan, bahkan ada yang terlebih dahulu menghubungi untuk memastikan kebutuhannya apa. 
Sebagai informasi, biasanya kita kalau dengar orang butuh bantuan dalam situasi ini, mikirnya bantuin beras dan mi instan kan?
Ini enggak salah. Tetapi bayangkan bagi penerima bantuan, yang jelas mereka dekat dengan sumber penularan virus a.k.a beresiko, tidak bisa ke mana-mana dsb, kalau setiap orang yang membantu mengirimkan beras dan mi instan, numpuk gaes. Padalah beras jaman sekarang kan umumnya mudah berkutu. Mi instan juga sedikit sekali mengandung gizi selain karbohidrat dan lemak. Di sisi lain, mereka juga membutuhkan asupan gizi untuk mempertahankan imunitas tubuhnya. 

Syukurlah para penolong kami tanggap dan cerdas semua. Saya banyak belajar dari mereka. 
Agar lebih jelas, alternatif jenis bantuan selain beras dan mi, sesuai kiriman tetangga dan teman-teman kami antara lain:
  1. susu, ada lho tetangga yang bekerja di peternakan, setiap hari kirim susu yang sudah matang dan manis. Anak-anak tinggal menikmati.  Ada pula yang mengirim susu kemasan. 
  2. sayuran segar, yang ini biasa dikirim oleh yang memang bercocok tanam dan berjualan sayuran. Saat kami isolasi, sepertinya sedang musim sawi putih. Akhirnya saya belajar banyak mengolah satu bahan itu menjadi berbagai alternatif masakan. Jadi, agar memudahkan korban, tidak ada salahnya sekalian dikirimi bumbu. :)
  3. telur, ini sih jenis bahan makanan yang banyak variasinya ya. Para penolong kami rajin kirim telur. Namun pastikan telur yang dikirim dalam kondisi baik. Orang-orang yang diisolasi ini rada sensi, Gaess. Bayangkan dalam situasi stres, diisolasi, dilihat sebagai pembawa virus, eh sekalinya dibantu dengan telur, ternyata telurnya busuk. Rasanya sampai ke hati deh. 
  4. ikan dan protein hewani lainnya. Jika korban tidak memungkinkan memasak, alihkan dalam bentuk sosis, rendang, abon, atau awetan produk siap makan lainnya. 
  5. vitamin, untuk membantu meningkatkan daya tahan tubuh dalam menangkal serangan virus. Ada banyak sekali pilihan, baik yang buatan pabrik maupun yang herbal. Tergantung kemampuan finansial Anda saja. 
  6. peralatan mandi, mereka juga perlu mempertahankan kebersihan diri agar tetap sehat, Gaess. Kalau tidak boleh keluar, sementara stok habis, mau bagaimana? So, jangan sungkan bertanya kepada korban. Dalam kasus kami, pernah terjadi salah satu anggota mengeluh deterjennya habis. Personil yang satu ini suka nyetatus dan mengeluh kehabisan deterjen melalui medsos, dengan menyebut nama oknum pejabat di dekat rumah. Jadilah dia disinggung oleh tetangga pejabat yang lain.  
  7. minyak goreng, untuk keperluan memasak. Tetapi sejenis dengan beras dan mie, pastikan dulu kebutuhannya kepada korban. 
  8. jamu, bisa dalam wujud segar, bisa pula dalam wujud kering. Jamu sangat membantu dalam menjaga imunitas tubuh. 
  9. kacang hijau, bisa dalam wujud mentah bisa pula siap makan. Pastikan kebutuhannya kepada korban. Bayangkan jika Anda mengalami dalam hari yang sama, ada dua atau tiga bantuan bubur kacang hijau. Kalau punya kulkas sih, tidak masalah. Kalau tidak?
  10. bahan bakar, ini urgent. mereka juga tetap butuh memasak makanannya. 
  11. jika ada bayi, popok bakal urgent, sebagaimana jika ada wanita dan remaja putri, pembalut juga patut ditawarkan
  12. buah-buahan, sesuai kemampuan Anda saja. Biasanya buah juga awet kan? 
  13. jika ada anak-anak, camilan/jajanan sangat diperlukan. Bagaimanapun, ketika stok sayuran dan lauk tidak banyak perubahan, anak-anak lama-lama bosan. Camilan akan sangat membantu.
  14. alat kesehatan semacam termometer, plester, obat-obatan sederhana harian seperti obat sakit kepala dan obat diare
  15. Air minum alkaline. Kebetulan saya punya teman yang jualan. Dia membantu dengan menurunkan air minum produksinya. Konon air ini membantu menjaga kesehatan. Hal lain, Mss X yang positif dan isolasi mandiri di rumah, sudah membuktikan bahwa fisiknya lebih segar dengan banyak minum. Tetapi karena air rumahan dan berbagai merek terasa pahit, ia setia dengan salah satu merek yang ada manis-manisnya gitu. Jadi, sepanjang ia isolasi, sepertinya sudah menghabiskan dua kardus yang botol besar. Percayalah, merek apapun akan sangat membantu sebagaimana saat flu kita perlu banyak minum. 
Di luar itu, suport kepada para korban sangat diperlukan. Tetapi pastikan memberikan suport dengan benar, tidak justru membuat mereka merasa tidak nyaman, lelah menjawab pertanyaan cerewet Anda, apalagi yang ujung-ujungnya hanya untuk memastikan kepentingan Anda sendiri. 
Jujur saja, selama isolasi saya memblokir nomor 3 orang. Semua karena mereka sangat cerewet menanyakan detil kejadian, menanyakan ini dan itu, namun ujung-ujungnya lebih kepada kepentingan mereka sendiri. Saya tidak mau egois, tetapi dalam situasi itu, daripada melayani kecerewetan mereka, lebih baik saya mengurus dan menguatkan sesama korban atau menggunakan kuota untuk berterima kasih kepada para pemberi bantuan. 
Ingatlah, korban sudah dalam kondisi sress dengan ancaman penyakit, stress diisolasi, stress tidak bisa bekerja bahkah terancam kehilangan pekerjaan, stress dilihat oleh orang lewat seperti mereka melihat hantu, masihkah tega menambah stressnya hanya demi memuaskan kekepoan dan keselamatan pribadi Anda? Sungguh dirimu teganya teganya teganya ....

Saat ini sih, setelah tiga bulan berlalu, ada lagi tetangga yang terswab positif, tetapi kehebohannya sudah tidak seperti waktu kami kena imbas. 
Sekarang, yang positif langsung diisolasi di RS atau shelter. Keluarganya boleh isolasi mandiri di rumah, tetapi sudah tidak disertai penutupan lingkungan dan pandangan tidak nyaman itu. Syukurlah, jika demikian.  

Tulisan ini saya buat sebagai pengingat diri sendiri, bahwa kami pernah menjalani cobaan sedemikian. Semoga bermanfaat. 

Posting Komentar

0 Komentar