Jalan-jalan Emak Guru ke Desa Wisata Malang Watu Payung, Jabung

Desa Wisata banyak dikembangkan di Indonesia. Mungkin teman-teman sudah tidak asing dengan Desa Wisata Bali, Desa Wisata Osing, bahkan desa wisata Pujon Kidul.
Nah, kali ini saya akan berkunjung ke desa wisata rintisan, tepatnya di Jabung.
Beneran. Saya taunya Jabung itu sebatas tempat tinggal mas Eko Angsa, pengelola perpustakaan Anak Bangsa yang legendaris itu. Cukup menyedihkan sebagai orang yang lahir di Malang. Keknya mainnya kejauhan. Sampai-sampai tetangga sendiri tidak tau. He he he.
Awalnya, saya pikir Jabung itu bagian dari Tumpang. Ternyata, masing-masing berdiri sendiri.
Kalau mau ke Jabung, dari Arjosari, bisa ambil rute ke arah selatan. Nanti kalau nemu papan petunjuk (atau mending tanya orang deh) ke bandara Abdurrahman Saleh, ambil jalan tersebut. Artinya belok kiri ke arah timur (menurut saya).
Lurus saja ikuti jalur. Nanti di kanan jalan bakal nemu rumah teman kita, namanya Wendit atau Mendit. Jangan belok ke situ, kan mau ke Jabung. Jadi lurus saja. Kalau kemudian ketemu pertigaan yang ada patung pesawatnya, berarti rute udah bener. Lurus saja terus, sampai masuk ke kecamatan Jabung.
Desa yang saya kunjungi bernama Ngadirejo. Dari jalan utama, menuju desa ini berarti belok kiri. Masuk sekitar satu kilometer, bakal bertemu perempatan. Ambil jalan belok kanan. Lanjut lagi sekitar tiga kilometer, bakal disambut gapura masuk DeWi (Desa Wisata Malang) Ngadirejo.
Ada banyak air terjun di desa ini, tetapi kali ini kami memenuhi undangan dari Kedai Sambal Bakar dan pengelola spot Watu Payung dan Watu Gepit. Jadi kami menuju Dusun Kampung Anyar.
Gerbang Masuk Dusun (Photo by Yunus, Blogger Malang)
Kami disambut dengan ramah di Kedai Sambal Bakar yang dikelola oleh pak Cahyo dan keluarga. Tempat memang masih sederhana. Tetapi fasilitasnya sudah modern punya. Di halaman, selain untuk tempat parkir, juga tersedia sebuah gazebo yang di sana terletak sebuah kardus berisi buku. Di sebelah kardus, seekor kucing tengah pulas. Mungkin dia lelah setelah banyak membaca. Hati saya langsung adem melihat papan nama yang begitu jelas menunjukkan bahwa itu adalah Gubug Taman Baca.
Ini dia, Gubug Taman Baca
Ternyata, kedai juga menyediakan wifi. Ssstt, tidak usah sungkan menanyakan paswordnya. Memang fasilitas kok. Tak lama kemudian saya segera sadar bahwa di wilayah tersebut tidak ada sinyal. Jadi kalau mau terhubung dengan dunia luar, ya, wifi jawabannya.
Gayengnya Pertemuan dari Sudut Pandang Saya
Kami berduabelas disambut teh hangat, juga kopi lokal. Judulnya, kopi Ngadirejo. Rasanya mantab dan cocok menjadi teman ngobrol di wilayah yang relatif adem.
Selain minuman, kami juga disuguhi Samidran. Cemilan ini berjenis snack kriuk, dengan bentuk unik dan rasa yang manis. Nggak kebayang bagaimana membuatnya.

DeWi Ngadirejo ternyata telah dikenal hingga tingkat nasional. Unggulan saat ini wisata air terjun dan wisata alam. Warga terus berbenah, salah satunya dengan usaha menyurvey rumah warga yang layak dan bersedia dijadikan semacam penginapan. Jadi, ke depannya, kita bisa menginap di rumah warga dan berpuas menikmati berbagai wisata yang tersedia. Saya masih nggak ngeh sih, masa wisata alam saja perlu pakai menginap. So, saya harus ikut menengok salah satu tempat wisata.
Kami bersiap menuju Watu Payung dan Watu Jepit.
Sejak bersiap berangkat, kami sudah diingatkan untuk memakai sandal gunung saja, sebab bisa dipastikan akan melalui wilayah berair. Hmm, sepertinya ....

Kami mulai berjalan kaki melewati rumah warga. Saya sempat mengamati kegiatan gotong royong yang dilakukan warga. Enaknya jadi warga desa ini, kalau mau renovasi atau membangun rumah, tidak perlu bingung cari tukang dan kuli. Tetangga akan datang dengan sukarela. Umumnya pekerjaan juga berlangsung sangat cepat. Entahlah, mungkin karena dikerjakan sambil berinteraksi bersama teman dan saudara.
Meninggalkan perkampungan, kami melalui celah kebun bambu, kebun durian, hingga kebun cokelat. Sayangnya, duriannya masih mungil dan cokelatnya belum matang. Aihh, jadwalkan ke sana beberapa bulan lagi, yuk. Semakin lama, jalanan semakin menurun. Terkadang tajam dan licin. Tetapi semakin lama, saya semakin terhibur dengan terdengarnya suara aliran air. Tanda-tanda perjalanan akan segera mencapai goal.
Sungai Cokro dilihat dari lereng bukit 
Akhirnya, kami mencapai tepian sungai. Alirannya saat itu terlihat tidak terlalu deras. Tetapi ternyata, kalau tidak hati-hati bisa membuat orang seukuran saya roboh, Saudara.
Untuk mencapai Watu Payung, kami harus menyusuri sungai (Benar-benar berjalan di sungai dengan kedalaman ada yang hingga 60 cm). Ada bagian yang bisa dicapai dengan lompat-lompat antar batu. Tetapi ada juga yang harus melewati wilayah berlumpur. Lumpurnya cukup dalam, lengket, dan hitam. Syukurlah air bersih melimpah untuk segera membersihkannya.
Akhirnya, kami tiba di Watu Payung. Penampakannya seperti gambar di bawah ini.
Ceruk di latar belakang itulah yang dinamakan Watu Payung. Photo: Blogger Malang
Watu Payung bisa disebut seperti gua yang tidak terlalu dalam. Bentuknya seperti setengah bagian payung. Bentukan ini benar-benar alami, kecuali bagian lantainya. Sepertinya sudah diatur sedemikian dengan tumpukan batu, agar tidak terjadi terlalu banyak penurunan permukaan. Nih, foto sebagian dari kami di Watu Payung.
Blogger Malang di Watu Payung, Jabung. Photo: Blogger Malang
Kalau mau lihat lokasinya, bisa di https://maps.app.goo.gl/5SWUgoZK2UYHtHRB8.
Ke depannya, lokasi ini akan terus dikelola. Diharapkan, segera bisa dibuat lokasi tubing level ringan. Dipadukan dengan penginapan dan tempat makan, wahh, pasti seru.
Setelah Watu Payung, perjalanan dilanjutkan ke Watu Gepit. Kami kembali menyusuri sungai, kemudian mengikuti jalan tanah yang kali ini sudah bisa dilalui motor. Btw, kalau mau ngojek ke lokasi ini dari perumahan penduduk, kita cukup bayar 25K saja. Tetapi kami kan agendanya jalan, jadi ... yuuk.
Watu Gepit adalah bongkahan batu besar, dengan celah yang cukup dilalui satu orang saja. Konon ada kisah none Belanda yang saat jalan di celah itu nggak bisa lewat, makanya diberi nama watu Gepit.
Selain batunya, kita bisa berpose dengan latar belakang lereng dengan pohon yang menempel di sisinya. Entah bagaimana proses terjadinya.
Berpose di Watu Gepit. Model: blogger Malang. Photo: Blogger Malang

Usai berkenalan dengan Watu Gepit, kami melanjutkan perjalanan, kali ini melalui jalan yang bisa dilewati motor tadi. Lebih landai, belok-belok khas jalan lereng gunung. Dan kami tetap berpeluh. Pak Cahyo yang mengawal kami mengatakan, diajak jalan jauh gini biar lapar. Jadi nanti pas diajak makan semangat. He he he.
Di tengah perjalanan balik, nemu portal penanda batas antar kecamatan. Mana bisa tidak eksis. 
Tiba kembali di kedai Sambel Bakar, kami disambut hujan yang mendadak lebat. Pas, tuan rumah juga menghidangkan nasi jagung, nasi putih, lodeh sayur nangka muda, tumis daun Labu Siam, Sambal Goreng Labu Siam, Rebusan Daun Banci, Gorengan Daun Memes, Tempe goreng, Ikan Pindang Goreng, Kerupuk, daaann ... tak lama disusul oleh rajanya, Sambal Bakar.
Sambel Bakar disajikan dalam cobek besar berwarna hitam, masih mengepulkan asap dan meletup-letup. Aromanya sangat menggoda. Tidak tahan lagi untuk tidak mengambil kerupuk dan colek itu sambal. Saya bukan penyuka pedas, tetapi masih bisa menikmati enaknya sambal ini.
Saatnya Makan. Yang namanya Sambel Bakar, itu lho yang di depan dua Mbak berkerudung pink. Photo: Blogger Malang

Ini yang namanya daun Memes. Photo: Blogger Malang

Sambal bakar dibuat dari cabai hijau yang dipetik langsung dari kebun dan digoreng. Dipadukan dengan bumbu bawang merah dan bawang putih goreng, ditambah terasi bila suka, dan garam secukupnya. Setelah dihaluskan, siram dengan minyak bekas menggoreng, kemudian tuang ke atas cobek yang sudah dipanaskan. Hasilnya, teman makan huh hah yang tidak terlupakan.
Saatnya pamit. Photo: Blogger Malang
Mengunjungi sebagian kecil dari desa wisata Malang ini, saya merasa sangat bersyukur bahwasannya adanya dana desa yang diberikan pemerintah bisa benar-benar dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Semoga yang demikian bisa menginspirasi desa-desa yang lain agar lebih berdaya. Pertanian dan kearifan dengan alam tetap berjalan, tetapi juga tidak ketinggalan jaman. Semoga.








Posting Komentar

4 Komentar